Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Menangis Karena Cinta Nabi Saw - Serial akhlak (8)

Sesungguhnya melihat Nabi SAW merupakan nikmat yang agung bagi setiap Mukmin. Hal itu akan memasukkan dirinya ke dalam kelompok yang mempunyai derajat yang tidak bisa dicapai oleh orang-orang setelahnya yaitu derajat “sahabat” Rasulullah. Itulah keutamaan yang diberikan Allah bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Maka atas dasar ketinggian derajat inilah para tabi’in iri kepada para sahabat RA.

Dalam shahih Muslim dari Yazid bin Hayyân ia berkata, “Suatu ketika aku bertolak bersama Husain bin Subrah, dan Umar bin Muslim menuju Zaid bin Arqam. Ketika kami duduk di hadapannya Hushain berkata kepadanya, “Wahai Zaid! Engkau telah memperoleh Kebaikan yang tiada tara. Engkau melihat Rasulullah, mendengarkan perkataannya, berperang bersamanya, dan shalat dibelakangnya. Wahai Zaid! Sungguh engkau telah memperoleh kebaikan yang tiada tara”

Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi menuturkan bahwa salah seorang pemuda dari penduduk Kufah berkata kepada Hudzaifah RA, “Wahai Abu Abdillah! Engkau telah melihat Rasulullah dan berteman dengannya!” Hudzaifah berkata, “Benar wahai anak saudaraku!” Pemuda tersebut bertanya, “Apakah yang kalian perbuat (dengan kenikmatan itu)?” Ia menjawab, “Demi Allah! Kami berperang dan berpayah-payah (bersama beliau).” Pemuda itu berkata lagi, “Demi Allah! Kalau sekiranya kami berjumpa dengannya (Nabi), niscaya tidak akan membiarkannya berjalan di atas tanah, tetapi beliau akan kami usung di atas pundak-pundak kami.”[1]

BERIKUT INI ADALAH CONTOH-CONTOH KECINTAAN PARA SAHABAT KEPADA NABI SAW : 

ã Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW duduk di atas mimbar –dalam riwayat lain beliau berkhutbah dihadapan manusia disaat sakit beliau yang berujung kepada kematiannya), beliau bersabda, “Ketahuilah! Sesungguhnya Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba antara kemegahan dunia sesuka hatinya atau diberikan kepadanya apa yang ada disisi-Nya. Maka dia memilih apa yang ada disisi Allah!” Mendengar perkataan Rasulullah SAW menangislah Abu Bakar dan Rasulullah pun menangis, lalu Abu Bakar berkata, “Kami tebus engkau wahai Rasulullah dengan bapak dan ibu kami.” Kami pun terheran-heran dengan perkataan Abu Bakar, sehingga orang-orang berkata, “Lihatlah kepada orang tua ini! Rasulullah SAW mengabarkan tentang seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah antara kemegahan dunia atau apa yang ada disisi-Nya, kemudian orang tua itu mengatakan, “Kami tebus engkau dengan bapak dan ibu kami.” Ternyata orang yang diberi kesempatan memilih itu adalah Rasulullah SAW sendiri. Dan Abu Bakar adalah orang yang paling mengenal Rasulullah saw di antara kami.”[2]

ã ‘Ashim bin Humaid as-Sukuni menuturkan bahwa ketika Mu’adz bin Jabal RA diutus Nabi SAW ke Yaman. Beliau keluar berwasiat kepada Mu’adz yang sedang berada di atas hewan tunggannya dan Rasulullah berjalan kaki mengiringi kendaraan Mu’adz. Tatkala Mu’adz akan berangkat Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Mu’adz! Mungkin engkau tidak akan berjumpa lagi denganku setelah tahun ini. Barangkali engkau akan melewati masjid ini atau kuburanku!” Mendengar perkataan Rasulullah SAW menangislah Mu’adz bin Jabal karena takut dan sedih berpisah dengan Rasulullah SAW. Beliau SAW berkata, “Janganlah menangis wahai Mu’adz! Karena tangisanmu itu berasal dari setan.” Kemudian aku menoleh dan beliau menghadapkan wajahnya kearah Madinah seraya berkata, “Sesungguhnya orang yang paling utama disisiku adalah orang-orang yang bertakwa, siapa pun ia dan dimanapun ia berada.[3]

ã Anas bin Malik dan Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa tatkala terjadi perang Hunain. Kaum Hawazin, Ghathafan dan selain mereka disertai anak-anak dan semua harta benda mereka menyerang Rasulullah yang pada saat itu bersama sepuluh ribu pasukan termasuk orang-orang yang dibebaskan pada Fathul Mekkah. Mendapat serangan yang tidak terduga larilah pasukan Muslimin meninggalkan Rasulullah sendirian. Melihat kenyataan itu Rasulullah berseru dua kali dengan seruan yang jelas dan lantang tanpa ada suara lain yang mengacaukannya. Pada seruan pertama beliau menoleh ke sebelah kanan seraya berkata, “Wahai orang-orang Anshar!” Mereka menjawab, “Kami penuhi panggilanmu wahai Rasululah, bergembiralah! Sesungguhnya kami berada di barisanmu.” Kemudian beliau menoleh ke sebelah kiri seraya berkata, “Wahai orang-orang Anshar!” Mereka menjawab, “Kami penuhi panggilanmu wahai Rasululah, bergembiralah! Sesungguhnya kami berada di barisanmu.” Setelah itu Rasulullah SAW turun dari atas keledainya dan berkata, “Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya.” Setelah itu porak porandalah pasukan Musyrikin dan Rasulullah SAW mendapatkan harta rampasan perang yang melimpah.

Harta rampasan perang tadi dibagi-bagikan kepada orang-orang Muhajirin dan ath-Thulaqa` (orang-orang yang dimaafkan pada Fathul Mekkah). Beliau memberikan beberapa pembesar suku Quraisy seratus onta. Mendapati kenyataan demikian orang-orang Anshar berkata, “Jika keadaan sangat genting kamilah yang dipanggil, namun tatkala pembagian harta rampasan orang lain yang diberi.” Kemudian berseliweranlah isu “katanya” di antara mereka RA sehingga ada yang mengatakan, “Rasulullah SAW telah menjumpai kaumnya sendiri.” Yang lain mengatakan, “Semoga Allah mengampuni Rasulullah, ia memberi kaum Quraisy sedangkan kita ditinggalkannya, padahal pedang-pedang kami yang berlumuran darah musuh!.”

Rasulullah SAW pun dikabari akan hal itu. Tersebutlah sahabat yang mulia Sa’ad bin Ubadah menghadap Rasulullah SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya segolongan orang-orang Anshar merasa tidak puas dengan kebijakan anda.” Beliau SAW bertanya, “Dalam hal apa?” Sa’ad menjawab, “Dalam hal pembagian harta rampasan yang anda bagikan kepada kaum anda, dan semua orang arab dengan melupakan kaum Anshar.” Rasulullah pun bertanya, “Wahai Sa’ad! Engkau berada di pihak siapa?” Sa’ad menjawab, “Wahai Rasulullah! Aku ini hanyalah bagian dari kaumku.” Kemudian Rasulullah berkata, “Kalau begitu kumpulkan kaummu dihadapanku!” Sa’ad bin Ubadah pun mengumpulkan kaumnya di sebuah tenda sehingga tatkala tak seorang pun dari mereka yang ketinggalan, Sa’ad menghadap Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Orang-orang Anshar telah berkumpul semua.” Kemudian Rasulullah SAW keluar menemui mereka, dan berdiri seraya memuji dan memuja Allah, beliau berkata, “Wahai kaum Anshar! Telah sampai kepadaku ucapan miring kalian dan keberatan kalian terhadap diriku?” Kalangan yang mendalam ilmunya dari kaum Anshar berkata, “Wahai Rasulullah! Para pemuka kaum kami tidak mengatakan apa-apa. Adapun orang-orang yang yang masih muda dari kaum kamilah yang mengatakan, “Semoga Allah mengampuni Rasulullah, ia memberi kaum Quraisy sedangkan kita ditinggalkannya, padahal pedang-pedang kami berlumuran darah.” Nabi SAW pun berkata, “Wahai kaum Anshar! Bukankah dahulu aku datang kepada kalian saat kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberi kalian petunjuk? Kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah menjadikan kalian dalam keadaan berkecukupan? Kalian saling bermusuhan, lalu Allah menjadikan kalian bersaudara?” Setiap kali Rasulullah mengatakan sesuatu mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih bermurah hati!,” atau dalam suatu riwayat mereka berkata, “Nikmat dan pemberian hanya Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah berkata, “Wahai kaum Anshar tidak ada yang menghalangi kalian menjawab seruanku.” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih bermurah hati!,” atau dalam suatu riwayat mereka berkata, “Nikmat dan pemberian hanya Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah berkata, “Jika saja kalian mau, kalian boleh mengatakannya secara jujur dan kalian dibenarkan, katakan saja. ‘Engaku telah datang kepada kami sebagai orang yang terusir lalu kami menampungmu, sebagai seorang miskin lalu kami yang menanggung semua bebanmu, sebagai orang yang takut lalu kami melindungimu, sebagai seorang yang terhina lalu kami memuliakanmu,’.” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih bermurah hati!,” atau dalam suatu riwayat mereka berkata, “Nikmat dan pemberian hanya milik Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah melanjutkan, “Wahai kaum Anshar! Apakah kalian menginginkan di dalam diri kalian secuil dunia yang telah aku gunakan untuk melunakkan hati suatu kaum agar masuk Islam (secara sempurna)? Kemudian aku serahkan untuk kalian apa yang diberikan Allah berupa “Islam”? Kalian adalah pohon sedangkan mereka adalah daunnya. Wahai kaum Anshar tidakkah kalian rela, orang-orang kembali dengan membawa domba-domba dan onta-onta, sedangkan kalian kembali dengan membawa Rasulullah SAW ke dalam kampung kalian. Demi Allah! Apa yang kalian bawa pulang lebih baik dari yang mereka bawa pulang.” Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah! Kami rela.” Rasulullah melanjutkan, “Demi yang jiwaku berada di Tangan-Nya! andaikata orang-orang memilih jalan di antara celah-celah bukit, lalu orang-orang Anshar memilih jalan lain, niscaya aku akan menapaki jalan yang ditempuh orang-orang Anshar. Andai saja bukan karena hijrah niscaya aku sudah menjadi seorang Anshar. Ya Allah kasihanilah orang-orang Anshar anak-anak dan cucu-cucu mereka.” Lalu mereka menangis sesenggukan hingga air mata membasahi jenggot-jenggot mereka seraya berkata, “Kami ridha dengan pembagian yang diberikan Rasulullah SAW.” Lalu Rasulullah berpaling dan kami pun berpencar.”[4]

ã Anas bin Malik RA berkata, “Dulu Rasulullah SAW berkhutbah dengan menyandarkan punggungnya pada batang sebuah pohon. Tatkala orang-orang semakin membludak, beliau memerintahkan untuk dibuatkan sebuah mimbar yang memiliki dua tangga. Maka tatkala Rasulullah berdiri di atas mimbar untuk berkhutbah, menangislah batang pohon tersebut seperti tangisan seorang bocah (dalam riwayat lain seperti tangisan onta betina), dan aku saat itu sedang berada di masjid. Pohon tersebut terus menerus menangis hingga Rasulullah turun dari mimbar dan mendekapnya lalu ia terdiam.”

ã Mubarak bin Fudhalah berkata, “Al-Hasan apabila menyebutkan hadits ini ia menangis seraya berkata, ‘Wahai hamba Allah! Sebatang pohon menangis karena rindu kepada Rasulullah SAW, maka kalian semua lebih berhak untuk merindukan bertemu dengannya.’”[5]

ã Jundub bin Abdullah RA menuturkan bahwa Nabi SAW mengirim sebuah rombongan, dan mengutus kepada mereka Abu Ubaidah (sebagai pimpinan). Tatkala hendak berangkat dia menangis karena enggan berpisah dengan Rasulullah SAW.”[6]

ã Penyiksaan orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah SAW merupakan perkara yang melukai hati dan mengalirkan air mata. Para pembesar sahabat RA menangis ketika menyaksikan penindasan kaum Quraisy terhadap Rasulullah tanpa bisa berbuat sesuatu.

Anas bin Malik RA menceritakan bahwa suatu hari orang-orang musyrik memukuli Rasulullah SAW hingga beliau pingsan. Berdirilah Abu Bakar seraya berkata, “Celaka kalian! Apakah kalian akan membunuh orang karena mengatakan Allah adalah Rabbku?!” Mereka pun meninggalkan Rasulullah SAW dan menemui Abu Bakar.”

Dalam hadits Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Aku telah melihat salah seorang dari kaum musyrikin mencengkram kedua leher bajunya (kerah baju). Abu Bakar pun berdiri menghalangi seraya berkata, “Apakah kalian akan membunuh orang yang mengatakan Allah adalah Rabbku?!’[7]

ã ‘Amr bin Utsman telah dikabari oleh ayahnya bahwa begitu banyak penyiksaan kaum musyrikin terhadap Rasulullah. Suatu hari aku melihat beliau SAW (Utsman berlinangan air mata) thawaf di ka’bah bersama Abu Bakar, sedangkan Uqbah bin Abi Mu’ith, Abu Jahl, dan Umayyah bin Khalaf berada di dekat hajar aswad. Ketika Rasulullah melewati hajar asawad, mereka memperdengarkan Rasulullah SAW perkataan yang dibencinya sebanyak tiga kali. Tatkala beliau SAW berada dalam putaran keempat mereka menyerang beliau, dan Abu Jahl berkehendak mencengkram kerah baju Rasulullah, maka aku mendorongnya, dan Abu Bakar mendorong Umayyah sementara Rasulullah mendorong Uqbah”[8]

ã Suatu hari Ali bin Abi Thalib RA berpidato, “Siapakah orang yang paling berani?” Orang-orang menjawab, “Engkau wahai Ali!” Ali berkata, “Kalau aku, aku tidak berduel kecuali dengan orang yang sepadan denganku, tetapi Abu Bakar lah yang paling berani. Aku telah melihat Rasulullah SAW dikeroyok oleh orang-orang Quraisy, satu orang menamparnya dan memukulnya, yang lain menghinanya dengan mengatakan, “Engkaukah yang menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi satu?” Demi Allah tidak seorang pun dari kami yang mendekat untuk menolong beliau kecuali Abu Bakar. Ia memukul fulan, mendorong fulan seraya berkata, “Celaka kalian, apakah kalian akan membunuh orang yang mengatakan: Allah Rabbku?” Kemudian menangislah Ali RA.[9]

ã Dalam hadits yang menceritakan tentang Hijrah, dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Pada suatu hari ditengah terik mentari tatkala kami duduk-duduk di rumah Abu Bakar, berkatalah seseorang kepada Abu Bakar pada saat tak seorang pun mendatangi kami, “Ini Rasulullah datang dengan menutupi muka, pada saat yang tidak biasanya beliau datang!” Abu Bakar berkata, “Aku akan menebusnya dengan ayah dan ibuku, tidaklah Rasulullah datang pada saat seperti ini kecuali dengan membawa suatu urusan.” Kemudian Rasulullah SAW datang dan meminta izin, lalu beliau diizinkan dan memasuki rumah. Nabi SAW berkata kepada Abu Bakar, “Keluarkan siapa saja yang bersamamu!” Abu Bakar menjawab, “Mereka semua adalah keluargamu wahai Rasulullah.” Nabi berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan aku untuk Hijrah.” Abu Bakar bertanya, “Bolehkah aku menemanimu wahai Rasulullah?” Beliau pun menjawab, “Ya, boleh.” A`isyah berkata: “Aku melihat Abu Bakar menangis, aku tidak pernah mendapai seorangpun yang menangis karena bahagia hingga pada hari itu, aku melihat Abu Bakar menangis bahagia.”[10]

ã Masih dalam hadits Hijrah yang diriwayatkan Muslim dan berkisah tentang begitu takut dan khawatirnya Abu Bakar RA terhadap apa yang akan menimpa Nabi SAW. Abu Bakar mengisahkan peristiwa itu kepada al-Barrâ` bin ‘Azib dan ayahnya RA, Abu Bakar berkata, “Tatkala kami berada di padang pasir yang sangat panas seperti tempat pembakaran. Aku mendengar derap kaki kuda seseorang dibelakangku, aku menoleh ke belakang ternyata Suraqah bin Malik telah berada di belakang kami. Akupun menangis seraya berkata, “Wahai Rasulullah kita telah ketahuan.” Beliau menjawab, “Sekali-kali tidak wahai Abu Bakar, kemudian beliau pun berdoa”

ã Tsabit al-Bunnâni meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Tatkala penyakit Rasulullah semakin parah sehingga beliau diselimuti penderitaan. Berkatalah Fathimah, “Betapa menderitanya engkau wahai ayahku.” Rasulullah berkata kepadanya, “Tidak ada cobaan lagi yang akan menimpa ayah setelah hari ini,” dan ketika Rasulullah wafat Fathimah berkata, “Wahai ayah Allah telah memenuhi permintaanmu, surga firdaus adalah tempat kembalimu, dan kepada Jibril kami menyampaikan berita kematianmu.” Tatkala Rasulullah dikebumikan Fathimah berkata, “Wahai Anas, apakah engaku rela (tega) menaburkan tanah atas jasad Rasulullah?”

Hammad berkata, “Adalah Tsabit bila menyebutkan hadits ini, ia menangis hingga tulang rusuknya bergemeretak.”[11]

ã ‘Aisyah RA menuturkan, “Kami para istri Rasulullah berkumpul di sisinya tanpa satupun yang meninggalkan dirinya. Setelah itu datanglah Fathimah dengan berjalan seperti jalannya Rasulullah. Ketika Rasulullah SAW melihatnya beliau menyambutnya seraya berkata, “Selamat datang wahai putriku.” Kemudian beliau mendudukkannya di sebelah kanan atau sebelah kiri beliau, dan membisikkan sesuatu kepadanya sehingga Fathimah menangis, dan membisikkannya sekali lagi lalu Fathimah pun tersenyum. Ketika Fathimah berdiri, aku (‘Aisyah) bertanya, “Rasulullah memibisikkan sesuatu kepadamu, hingga kamu menangis. Aku berkeinginan keras dengan adanya hakku (sebagai ibu) atas dirimu agar engkau memberi tahuku apakah gerangan yang membuatmu tersenyum dan menangis?” Fathimah berkata, “Aku tidak akan menyingkap rahasia Rasulullah.” Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata kepadanya, “Aku berkeinginan keras dengan adanya hakku (sebagai ibu) atas dirimu agar engkau memberi tahuku apakah gerangan yang membuatmu tersenyum dan menangis?” Fathimah berkata, “Adapun sekarang maka aku ungkap rahasia itu. Pada bisikan yang pertama beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril mendatangi dan membacakan kepada Rasulullah SAW al-Qur`an pada tiap tahunnya sebanyak satu kali, dan pada tahun ini ia membacakannya sebanyak dua kali, aku menduga bahwa itu pertanda ajalku telah dekat, maka bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Sebaik-baik pendahulu bagimu wahai anakku adalah ayahmu. Maka aku menangis. Tatkala dia melihat kesedihanku dia berkata, “Apakah kamu tidak suka menjadi penghulu (pimpinan) wanita di dunia atau menjadi sayyidahnya para wanita umat ini.” maka akupun tersenyum.”[12]

ã Anas bin Malik RA berkata, “Ketika Abu Bakar dan al-‘Abbas RA melewati suatu majlis kaum Anshor mereka berdua mendapati orang-orang yang hadir di situ menangis. Berkatalah salah seorang dari keduanya, “Apakah gerangan yang menyebabkan kalian menangis?” Mereka menjawab, “Kami mengenang majlis Rasulullah SAW di antara kami.” Kemudian Abu Bakar menemui Rasulullah SAW dan mengabarinya akan hal itu. Maka Rasulullah SAW pun keluar dengan kepala terbalut kain pengompres. Sesampainya di sana beliau naik ke atas mimbar yang tidak akan pernah beliau naiki setelah hari itu. Beliau memuji dan memuja Allah SWT, lalu berkata, “Aku mewasiatkan kepada kalian untuk berlaku baik terhadap kaum Anshor. Sesungguhnya mereka adalah kelompokku dan penolongku. Mereka telah benar-benar menyelesaikan tugas yang telah dibebankan kepada mereka dan yang tersisa adalah hak-hak mereka. Maka terimalah kebaikan mereka dan maafkanlah kesalahan mereka.[13]

ã ‘Aisyah RA mengisahkan bahwa pada hari wafatnya Rasulullah SAW Abu Bakar datang menunggang kuda dari tempatnya tinggalnya di kampung Sunuh, kemudian ia turun dan masuk ke masjid tanpa berbicara kepada mereka yang hadir, hingga masuk ke bilik ‘Aisyah dan menuju ke tempat Rasulullah SAW yang sedang ditutupi dengan kain lebar. Abu Bakar membuka kain yang menutupi wajah Nabi, kemudian menundukkan kepala kepadanya, lalu menciumnya dan menangis. Selanjutnya ia berkata, “Ayah dan Ibuku sebagai tebusan bagimu Allah tidak akan menyatukan padamu dua kematian, adapun kematian yang pertama (di dunia) yang ditetapkan Allah atasmu telah engkau lalui.”[14]

ã Dalam hadits wafanya Rasulullah SAW dan khutbah Abu Bakar, ‘Aisyah berkata, “Abu Bakar memuji dan memuja Allah seraya berkata, “Perhatikanlah! Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad SAW, maka sesungguhnya beliau SAW telah wafat, dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan mati.” Kemudian Abu Bakar membaca ayat, “Sesungguhnya engkau akan mati dan merekapun akan mati.”  Dan ayat “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144). ‘Aisyah berkata, “Kemudian orang-orang pun menangis.”

ã Anas bin Malik RA berkata, “Tatkala Rasulullah SAW datang ke Madinah, terang benderanglah kota Madinah, sedangkan ketika hari kepergian beliau untuk selama-lamanya tiba, gelap gulitalah kota Madinah (bahkan seluruh alam).” Anas melanjutkan, “Tidaklah kami selesai menguburkan jenazah beliau, hingga hati kami yang mengingkarinya (maksudnya, kok tega kami menaburkan tanah di atas jasad beliau).”[15]

ã Urwah bin Zubair berkata, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa orang-orang menangis atas kepergian Rasulullah SAW. Mereka berkata, ‘Alangkah indahnya kalau kami yang terlebih dahulu meninggal! Karena kami takut akan cobaan setelah wafatnya beliau SAW.’ Ma’an bin ‘Ady RA –termasuk sahabat yang meyaksikan perang Yamamah- berkata, “Adapun aku, Demi Allah, aku lebih suka meninggal sesudah beliau, agar aku bisa membenarkan kenabian beliau SAW semasa beliau hidup sebagaimana aku membenarkannya setelah beliau wafat.”

ã Anas bin Malik menuturkan bahwa Abu Bakar berkata kepada Umar RA setelah wafatnya Rasulullah SAW, “Ikutlah bersama kami ke rumah Ummu Aiman untuk menjenguknya sebaimana Rasulullah SAW menjenguknya!” Tatkala mereka berdua sampai di rumah Ummu Aiman, Ummu Aiman menangis. Keduanya pun bertanya, “Apakah gerangan yang menyebabkan engkau menangis? Apakah engkau tidak mengentahui bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah!” Ummu Aiman menjawab, “Tangisanku bukanlah disebabkan aku tidak mengetahui sesuatu yang terbaik buat Rasulullah di sisi Allah, namun yang menjadikan aku menangis bahwa wahyu telah terputus dari langit.” Maka ia pun menjadikan kedua sahabat tersebut menangis, dan akhirnya mereka menangis bersama-sama.[16]

ã Zaid bin Aslam menuturkan bahwa ayahnya berkata kepadanya, “Kami tiba di negeri syam bersama Umar RA. Pada saat itu Bilal adzan, dan ia belum pernah adzan sejak wafatnya Rasulullah SAW. Orang-orang pun terkenang akan Nabi SAW, dan aku belum pernah melihat begitu banyak orang yang menangis, melainkan pada hari itu.”

ã Al-Ahnaf bin Qais meriwayatkan dari Abu Dzar RA, ia berkata, “Aku telah dikabari oleh kekasihku Abu al-Qasim (Muhammad), lalu ia menangis. Ia mengatakan itu sebanyak tiga kali. Pada kesempatan yang ketiga ia berkata, “Aku telah dikabari oleh kekasihku Abu al-Qasim (Muhammad), ‘Tidaklah seorang hamba bersujud kepada Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya, menghapus kesalahannya, dan dicantumkan untuknya satu kebaikan.’.”[17]

ã ‘Amr bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata, “Tidaklah Ibnu Umar menginat Nabi SAW, melainkan dia akan menangis.”[18]

ã Ishaq bin Muhammad berkata bahwa Malik bin Anas menuturkan kepadanya, “Ayyub as-Sikhtiyani telah berhaji dalam bilangan yang tidak terhitung. Aku tidak menulis ilmu darinya, bukan karena aku menuduhnya, melainkan aku melihat dia bukan ahlinya. Tatkala ia berhaji dan itu adalah hajinya yang terakhir, ia duduk di dekat sumur zamzam. Tidaklah membicarakan tentang Nabi SAW atau mengingat beliau, melainkan ia menangis hebat hingga aku merasa kasihan kepadanya, maka akupun menulis darinya (mengambil ilmu/hadis darinya).”

ã Dalam pengajian Syaikh Abdul Aziz bin Baz RA tentang sirah pada kitab Zâdul Ma’âd bab Hijrah Nabi SAW dan Pengawalan Abu Bakar RA terhadap diri beliau. Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi membaca, “Pada waktu itu (saat hijrah ke Madinah) sebentar-sebentar Abu Bakar berjalan di depan Rasulullah di lain waktu ia berjalan di belakang Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pun menanyakan akan hal itu. Lalu Abu Bakar menjawab, “ Wahai Rasulullah! Tatkala aku teringat ada orang yang mengejarmu, aku berjalan di belakangmu, dan tatkala aku teringat serangan musuh yang akan menghadangmu, aku berjalan di depanmu.” Rasulullah SAW berkata, “Wahai Abu Bakar! Kalau sekiranya terjadi sesuatu, apakah engkau bersedia melindungiku?” Abu Bakar menjawab, “Aku bersedia wahai Rasulullah demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran.” Maka aku mendengar tangis Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan beliau terus mengulang perkataan, “Allah telah meridhai Abu Bakar, Allah telah meridhai Abu Bakar.”

_______________________________________________

[1] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

[2] Muttafaq ‘Alaih.

[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

[4] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Semua pengarang kitab sunan. Asal hadits ini terdapat dalam Shahihaini.

[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan yang lainnya asli hadits ini terdapat dalam Shahihaini.

[6] Diriwayatkan oleh Thabrani.

[7] Diriwayatkan oleh ad-Daar al-Quthni.

[8] Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni.

[9] Diriwayatkan oleh al-Bazzar.

[10]  Hadis muttafaq alaihi, tambahan berdasarkan riwayat Ibn Ishaq dan al-Thabari.

[11]  Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dan Ibn Majah dengan tambahan.

[12] Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

[13] Muttafaq ‘Alaih.

[14] Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

[15] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Turmudzi. Al-Hafizh ibnu Katsir berkata, “Sanadnya sesuai dengan syarat Syaikhaini.

[16] Diriwayatkan oleh Muslim.

[17] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari jalur Tsauban.

[18] Diriwayatkan oleh ad-Darimi.