Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Antara Geliat Belajar dan Geliat Dunia Malam ABG

Oleh: Asri Supatmiati

MULAI Oktober ini, para anak baru gede (ABG) di wilayah DKI Jakarta tidak akan bebas bergerak lagi. Pasalnya, Pemprov DKI Jakarta akan mulai menerapkan jam wajib belajar malam hari bagai remaja yang masih status pelajar. Peraturan ini sebagai respons tragedi Dul (13) yang kelayapan dini hari hingga menghilangkan nyawa orang lain. Efektifkah?

Gagasan itu sah-sah saja dicoba. Bahkan bisa dicontoh kota-kota besar lainnya, tak hanya di DKI Jakarta. Sebab, saat ini anak-anak semakin banyak yang berani pulang malam, bahkan hingga larut atau dini hari. Padahal, apa saja aktivitas remaja di malam hari itu? Hanya melakukan kegiatan yang tidak bernilai, bahkan cenderung (mendekati) maksiat.

Coba aparat berpatroli di malam hari untuk merazia para ABG, paling-paling tempat yang banyak dituju adalah:

Pertama, warnet. Tidak masalah kalau ke warnet untuk tujuan positif, seperti mencari informasi demi mengerjakan tugas sekolah. Masalahnya, banyak ABG ke warnet hanya sekadar main game atau bahkan buka situs porno.

Kedua, trek-trekan memakai sepeda motor di jalan raya. Terutama remaja cowok, dan kadang cewek sebagai pendampingnya. Jalan-jalan tertentu di Bogor yang padat dan macet di siang hari, cukup lengang di malam hari. Hal itu dimanfaatkan para bikers penggemar ngebut gaya bebas untuk uji nyali.

Ketiga, nonton bioskop. Pastinya film yang mengumbar adegan syahwat yang ditonton midnight. Apa dampaknya untuk remaja? Hanya membangkitkan libido. Pantas jika pemerkosa di kalangan remaja makin menggurita.

Keempat, dugem atau karaokean. Tak sedikit kafe atau tempat dugem sengaja membiarkan remaja-remaja tanggung menjadi pengunjung tetapnya. Yang penting mendatangkan uang, bukan? Perkara moral, bukan urusan.

Kelima, pacaran dan mojok di tempat sepi. Ironisnya, orangtua kerap merasa tenang mengizinkan anak gadisnya keluar malam dengan sang pacar. Padahal justru belakangan ini, pacar itulah yang jahat. Tega merenggut kegadisan hingga membunuhnya.  Kerap kejadian pemerkosaan oleh pacar terjadi karena malam minggu telanjur dihabiskan malam panjang. Remaja merasa wajib berpacaran, bahkan tak sedikit yang berzina. Naúzubillahiminzalik.

Jelaslah, aktivitas ABG di malam hari sangat rawat ke arah maksiat. Padahal, semestinya remaja lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk belajar. Waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan atau bersosialisasi bisa dilakukan di siang hingga sore hari. Kalaupun sampai malam, tidaklah harus larut, apalagi dini hari.

Ini juga introspeksi bagi para orangtua. Ke mana saja ayah-ibunya, sehingga banyak ABG berkeliaran hingga larut malam. Mengapa tidak resah anaknya tidak di rumah dan pulang terlambat? Atau jangan-jangan memang orang tua zaman sekarang sedemikian permisifnya, sehingga membiarkan anak-anaknya bebas beraktivitas di malam hari tanpa pendampingan?

Maklum, orangtua zaman sekarang sangat sibuk. Ayah dan atau ibu mereka, toh juga pulang larut, sehingga anak-anakpun meniru.

Upaya Preventif

Sebagai muslim, wajib hukumnya ber-amar maŕuf nahi munkar atau menyeru kebaikan dan mencegah kemaksiatan. Pemberlakuan jam malam bagi remaja, setidaknya bisa menjadi upaya preventif itu. Ya, mencegah remaja melakukan aktivitas-aktivitas negatif. Mencegah anak-anak agar tidak bermaksiat.

Jadi, berkaca pada kondisi pergaulan saat ini, khususnya di kota-kota besar, pemberlakuan jam malam yang membatasi aktivitas anak-anak bagus saja diterapkan. Misalnya dengan membatasi jam aktivitas malam pelajar hingga pukul 21:00 atau 22:00 misalnya, sesuai kesepakatan stake holders. Untuk menegakkan aturan tersebut, tentu harus ada patroli dan razia bagi AGB yang masih berkeliaran di atas jam 10 malam. Seperti di warnet, bioskop, klub malam, kafe-kafe dan bahkan di jalan atau taman umum.

Hanya, cara seperti ini akan sangat melelahkan jika tidak didukung oleh sistem. Maksudnya, percuma razia tiap malam jika tempat-tempat maksiat itu sendiri tetap dibolehkan buka hingga larut malam dan dini hari. Artinya, orangtua, termasuk pengusaha hiburan, juga harus mengalah dan memberi contoh yang baik bagi anak.

Tempat-tempat hiburan yang notabene hanya menjadi tempat maksiat itu harusnya ditutup selamanya, supaya ABG dan orangtua tidak memiliki peluang untuk keluar malam dengan tujuan hanya bersenang-senang mencari hiburan. Nah, kalau semua sudah ditutup, masih saja ada yang keluar malam untuk maksiat, barulah ditegakkan sanksi tegas.

Jika ABG itu belum baligh, orangtuanya harus dipanggil dan dimintai pertanggungjawaban, mengapa membiarkan anaknya keluyuran di tempat maksiat. Kalau hal ini tidak dilakukan, pastinya pemberlakuan jam malam tidak akan efektif.

Pandangan Islam 

Sejatinya dalam Islam tidak ada batasan waktu untuk melakukan aktivitas, yang penting syarí, bukan maksiat. Mau laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak, boleh-boleh saja keluar malam asal ada keperluan syarí.

Misalnya dalam rangka menuntut ilmu, muamalah, bekerja atau silaturahim. Itupun dengan ketentuan dan syarat syara, seperti tidak boleh membahayakan diri, tidak bepergian ke tempat subhat, menutup aurat, dll.

Tapi, aktivitas di malam hari dengan suasana nyaman dan aman, hanya akan tercipta jika lingkungan, masyarakat dan negara secara keseluruhan menjadikan Islam sebagai pondasi dalam kehidupan. Misalnya dengan menciptakan interaksi sosial, hubungan laki-laki-perempuan secara terpisah dan tidak membiarkan campur-baur. Negara melarang tempat hiburan malam, memberantas lokasi nongkrong atau prostitusi. Negara menghukum berat pelaku kriminal, termasuk pelaku kriminal di malam hari.

Kita bisa bercermin dari negara-negara di Timur Tengah yang sebagian besar masih ketat memberlakukan aturan Islam, di sana keluar malam juga relatif aman. Misalnya di Iran. Dan jangan lupa, sejatinya peran orangtua sangat sentral. Pengawasan orangtua terhadap anak dapat menjadi salah satu solusi pencegahan anak agar tidak bertindak yang melanggar peraturan atau hukum, tidak peduli siang atau malam.

Jadi, persoalan sebenarnya bukan jam berapa mereka beraktivitas, tapi apa aktivitasnya. Sekali lagi, yang harus dilakukan adalah bagaimana orangtua dan anak sama-sama memiliki pemahaman Islam tentang aktivitas yang benar dan tidak melanggar syariat.

Hidayatullah.com