Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Belajar Keihlasan dari “Sang Pedang Allah” (1)

Oleh: Shalih Hasyim

Adalah Khalid bin Walid lahir sekitar 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia adalah anggota suku Banu Makhzum, cabang dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Ia termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar bin Khatab sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.

Sebelum memeluk Islan,   Khalid bin Walid adalah Panglima perang kaum kafir Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavalerinya. Saat Perang Uhud, Khalid-lah yang melihat celah kelemahan pasukan Muslimin yang menjadi lemah setelah bernafsu mengambil rampasan perang dan turun dari Bukit Uhud dan menghajar pasukan Muslim pada saat itu. Tetapi setelah perang itulah ia menyesali perbuatannya dan memeluk Islam.

Khalid bin Walid seorang panglima pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang termahsyur dan ditakuti di medan perang serta dijuluki sebagai Saifullah Al-Maslul (Pedang Allah yang terhunus). Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang penting yang tidak terkalahkan sepanjang kariernya, terkenal sebagai panglima tertinggi untuk Nabi Muhammad dan penerus-penerusnya.  Dibawah kepemimpinan militernya lah Arabia pertama kalinya dalam sejarah membentuk entitas politik yang bersatu, Kekhalifahan.

Khalid adalah contoh praktik keikhlasan seorang pemimpin dengan yang dipimpin dalam sejarah Islam. Kala itu, datang kepadanya surat dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab. Karena kemaslahatan tertentu, maka Khalifah Islam kedua itu memerintahkan Khalid agar menyerahkan jabatannya kepada Abu Ubaidah Amir bin Jarrah ra. Padahal saat itu bendera sedang berada di tangan Khalid dan kaum Muslimin tengah memasuki kancah pertempuran yang terdahsyat dalam potongan sejarah Islam.

Pasukan Islam tidak lebih dari 40.000 personil itu harus melawan pasukan kuat  dari Persia dan Romawi yang jumlahnya tidak kurang dari 200.000 personil. Akan tetapi bendera tidak bergeser sedikit pun di tangannya. Dan perang tidak terhenti gara-gara masalah besar yang berkecamuk dalam jiwanya, ia melanjutkan peperangan hingga kemenangan berada di pihak pasukan Allah Subhanahu Wata’ala.

Setelah itu, sebelum ia masuk ke dalam kemahnya, ia memanggil anak buahnya Abu Ubaidah di hadapan seluruh pasukan, lalu ia menyerahkan bendera, memakaikan sorban kepemimpinan dengan tangannya sendiri, lalu membacakan SK khalifah. Kemudian ia berkata kepada Abu Ubaidah, “Saya adalah prajuritmu yang siap mendengar dan taat, wahai Abu Ubaidah.”

Ketika prajuritnya bertanya kepada Khalid tentang kebijakan Khalifah, “Apakah Anda tidak kecewa dan tersinggung dengan kebijakan Amirul Mukminin yang terkesan  mendadak itu? Khalid menjawab, “Aku berperang karena Allah Subhanahu wata’ala. Bukan karena pemimpin saya, Umar bin Khathab.

Maka, peristiwa itu menjadi teladan  di sepanjang sejarah Islam.

Sungguh, indah gambaran yang diungkapkan oleh seorang penyair Mesir, Hafizh Ibrahim tentang peristiwa tersebut.

Tanyakan penakluk Persia dan Romawi, apakah dia puas

Pada penaklukan, cukupkah baginya kemenangan beruntun (70 kali pertempuran)

Ia berperang, dan kuda Allah itu telah mengukir

Kemenangan gemilang di ubun-ubunnya

Tiada suatu negara pun kecuali mendengarnya

Allahu Akbar, menggema di setiap penjurunya

Khalid di jalan Allah, tengah menunggangnya

Dan Khalid di jalan Allah, tengah mengendalikannya

Tiba-Tiba datang kepadanya perintah khalifah, maka ia terima dengan legowo

Dan kebanggaan terhadap jiwa, tidak membuatnya terluka.

 
Tagha Versus Ikhlas

Orang beriman itu lahir dan batinnya sama. Karena iman itu perpaduan dari amalan hati, lisan dan anggota tubuh. Jika iman sudah merasuk ke lubuk hati yang paling dalam, ketulusan dan kesejukan hati akan muncul. Maka bahaya laten virus ruhani “takatsur” (saling berebut pengaruh, jabatan, lahan pekerjaan, massa, memperbanyak produksi) yang menjadi pintu masuknya tiga penyakit pemicu dan pemacu awal pelanggaran anak Adam dalam sejarah kehidupannya, yaitu  thoma’ yang diwariskan oleh Adam, sombong yang diwariskan oleh setan dan hasud yang diwariskan oleh Qabil akan lenyap.

إِيَّاكُمْ وَالْكِبْرَ فَإِنَّ إِبْلِيْسَ حَمَلَهُ الْكِبْرُ أَلاَّ يَسْجُدَ ِلآدَمَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحِرْصَ فَإِنَّ آدَمَ حَمَلَهُ الْحِرْصُ عَلَى أَنْ آكَلَ الشَجَرَةَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ ابْنَيَ آدَمَ قَتَلَ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ حَسَدًا هُنَّ أَصْلُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ (رواه ابن عساكر عن ابن مسعود رضي الله عنه)

“Waspada dan jauhi al-kibr (sombong), karena sesungguhnya Iblis terbawa sifat al-kibr sehingga menolak perintah Allah subhanahu wa ta’ala agar bersujud (menghormati) kepada Adam ‘alaihis salam. Waspada dan jauhi al-hirsh (serakah), karena sesungguhnya Adam ‘alaihis salam terbawa sifat al-hirsh sehingga makan dari pohon yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Waspada serta jauhi al-hasad (dengki), karena sesungguhnya kedua putra Adam ‘alaihis salam salah seorang dari keduanya membunuh saudaranya hanya karena al-hasad. Ketiga sifat tercela itulah asal segala kesalahan (di dunia ini).” (HR Ibnu Asakir dari Ibnu Masud, dalam Mukhtaru al-Ahadits).

Jadi, Iman dan thagha (melampui batas dalam bersikap) dan derivasinya (serakah, sombong dan dengki) tidak akan dapat dikompromikan dan dipersandingkan hingga hari kiamat.  Iman dan thagha bagaikan air dan minyak tanah. Benturan peradaban yang dibangun dengan hawa nafsu dan peradaban yang dibangun di atas nilai-nilai keikhlasan akan terus berlangsung secara permanen.

Imam Syafii mengatakan, ”Jika jiwamu tidak sibuk dalam ketaatan, maka akan menyibukkanmu dalam kemaksiatan.”

Sekalipun penyakit thagha itu abstrak, kita tidak dapat mendeteksinya, tetapi efek yang ditimbulkannya dapat dirasakan dan sangat mempengaruhi lingkungan sosial. Tagha disamping memberikan dampak negatif kepada pelakunya, pula berdampak sosial. Kelemahan apapun tidak dapat menghalangi seseorang untuk membangun sinergi kepada yang lain, kecuali kelemahan thagha.

8 Indikator Keikhlasan

Ada beberapa indikator perilaku tagha itu nampak pada pelakunya dan bagaimana ia menyikapi dan menempatkan dirinya dan pandangannya ia dalam menyikapi dan menempatkan orang lain. Diantara beberapa indikator yang dijadikan standarisasi bahwa seseorang itu terbebas dari penyakit thagha.

Pertama : Khawatir terhadap popularitas dan keharuman nama pada dirinya dan agamanya, terutama jika ia termasuk orang yang berpotensi. Ia meyakini sepenuh hati bahwa Allah Subhanahu Wata’ala menerima amal berdasarkan niat (motivasi intrinstik)  yang tersimpan di dalam batin,  tidak dengan penampilan dan asesoris lahiriyah. Ia juga meyakini sekalipun ketenaran namanya telah tersebar ke seluruh penjuru, namun tidak seorangpun yang bisa dijamin dapat membebaskan dan menebusnya serta menyelamatkannya dari siksa neraka.

Fenomena inilah yang menyebabkan ulama salaf dan orang-orang shalih sebelum kita takut terhadap fitnah ketenaran, tipuan pangkat, keharuman nama, dan mereka juga memperingatkan kepada murid-muridnya dari hal-hal tersebut. Imam Al-Ghazali telah meriwayatkan beberapa kisah tentang hal ini.

Ibrahim bin Adham (seorang putra mahkota yang lebih memilih tinggal di pondok pesantren), berkata, “Tidak akan jujur kepada Allah Subhanahu Wata’ala orang yang mencintai ketenaran.”

Sulaim bin Hanzhalah berkata, “Saat kami berjalan di belakang Ubai bin Kaab ra tiba-tiba Umar ra melihatnya, lantas Umar mengangkat cemeti yang diarahkan kepadanya. Maka Umar berkata, Wahai Amirul Mukminin, apa yang hendak kamu lakukan? Umar ra menjawab: Ini merupakan kehinaan bagi yang mengikuti dan yang diikuti.”

Kisah tersebut menggambarkan ketajaman pandangan Umar bin Khathab tentang suatu fenomena yang awalnya terlihat sederhana, namun dapat mengakibatkan terjadinya hal serius dan berdampak krusial dalam diri orang-orang yang mengikuti dan dalam diri para pemimpin yang diikuti.*/bersambung..

Hidayatullah.com