Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Fatwa - Fatwa tentang Puasa (Bagian 2)

6. Pertanyaan:

Apakah memperbanyak makanan dalam menyiapkan berbuka puasa dapat mengurangi pahala puasa?

Jawaban:

Itu tidak mengurangi pahala puasa, karena perbuatan haram setelah puasa tidak mengurangi pahalanya. Hanya saja termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Makanlah dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (AL-A’RAF: 31)

 

Karena berlebih-lebihan itu sendiri tidak baik, sementara kesederhanaan merupakan gaya hidup yang bijkasana. Jika mereka memiliki kelebihan, tentu akan lebih utama jika kesederhanaan.

Fatawa ash-Shiyam, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal: 25

7. Pertanyaan:

Apakah seseorang boleh berpuasa sementara dia junub karena tidak sengaja?

Jawaban:

Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa pada suatu shubuh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah junub karena menggauli istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.

Mandi junub merupakan syarat sahnya shalat, sehingga tidak boleh menundanya, karena melaksanakan shalat shubuh harus tepat pada waktunya. Tetapi jika dia tertidur dalam keadaan junub dan baru bangun pada waktu dhuha, maka saat itu dia harus segera mandi dan shalat shubuh serta melanjutkan puasanya.

Demikian juga jika tertidur disiang hari dalam keadaan berpuasa, kemudian mimpi junub, maka dia harus mandi untuk shalat zhuhur atau ashar dan tetap melanjutkan puasanya.

Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa ash-Shiyam, disusun oleh Muhammad al-Musnad, hal:31

8. Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya jika seorang yang sedang berpuasa keluar darah, seperti mimisan atau darah lainnya?

Dan apakah boleh bagi orang yang berpuasa untuk menyumbangkan darahnya (donor darah), atau mengeluarkan sedikit darahnya bagi penelitian labolatorium?

Jawaban:

Darah yang keluar dari orang yang berpuasa seperti mimisan, istihadzah (darah penyakit yang keluar dari wanita) dan sebagainya, tidak membatalkan puasa. Yang membatalkan puasa hanyalah darah haidh, nifas, dan berbekam.

Dan dibolehkan bagi orang yang berpuasa mengeluarkan darah untuk penelitian laboratorium, jika diperlukan dan hal itu tidak membatalkan puasa. Adapun donor darah, maka lebih baik bersikap hati-hati untuk menundanya sampai berbuka selesai, karena donor darah itu pada umumnya banyak jumlah darah yang diambil, maka dia menyurupai berbekam.

Dan hanya Allah ‘Azza wa Jalla jualah yang berkuasa memberi taufiq.

Syaikh Ibnu Baz, Fatawa ash-Shiyam: 21, Kitab Tuhfatul Ikhwan bi Ajwibatin Muhimmatin Tata’allaqu bi Arkanil Islam

 9. Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya orang yanag berpuasa sedangkan dia meniggalakan shalat?

Apakah puasanya sah?

Jawaban:

Yang benar adalah orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, yaitu kufur akbar (kekafiran besar), dengan demikian tidak sah puasanya dan ibadah-ibadah lainnya hingga dia bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am:88)

Dan ayat-ayat serta hadits-hadits lain yang semakna dengan ayat diatas. Ada sekelompok ulama berpendapat bahwa dia tidak kafir dengan hal itu, tidak pula batal puasanya dan ibadahnya yang lain, selama dia masih mengakui kewajibannya hanya saja dia meninggalkan shalat karena meremehkan atau malas-malas.

Dan hal yang benar adalah pendapat yang pertama, yaitu dia kafir karena meninggalkannya dengan sengaja sekalipun dia mengakui bahwa shalat itu wajib, berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak diantaranya sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

 بَيْنَ اَلرَّجُلِ وَ بَيْنَ اَلْكُفْرِ وَ اَلشِّرْكِ تَرْكُ اَلصَّلَاةِ. - أخرجه الإمام مسلم في صحيحه من حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنه

 “Yang membedakan antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari hadits Jabir bin Abdillah semoga Allah meridhoinya).

Dan sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang lain:

اَلْعَهْدُ اَلَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ اَلصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. - أخرجه الإمام أحمد و أهل السنن الأربع بإسناد صحيح من حديث بريدة بن الحصين الأسلمي رضي الله عنه

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka sesungguhnya dia telah kafir”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahamad dah Ahli Sunan yang empat dengan sanad yang shahih dari hadits buraidah bin Al-Husanain Al-Islami semoga Allah meridhoinya).

Dan Al-Allamah Ibnul Qayyim semoga Allah ‘Azza wa Jalla merahmatinya telah membahas masalah ini secara rinci dalam satu tulidan tersendiri tentang hukum mengerjakan shalat dan meninggalkannya.

Tulisan tersebut sangat bermanfaat, dan perlu dibaca diambil manfaatnya.

Syaikh Ibnu Baz, Fatawa ash-Shiyam: 18, Kitab Tuhfatul Ikhwan bi Ajwibatin Muhimmatin Tata’allaqu bi Arkanil Islam

 10. Pertanyaan :

Dengan apa kita memutuskan atau menetuakan kapan dimulainya dan selesainya bulan ramadhan?

Bagaimana hukum orang yang melihat bulan sabit sendirian ketika memulai atau mengakhiri bulan ramadhan?

Jawaban:

Mulai dan selesainya Bulan Ramadhan itu, ditentukan dengan persaksian dua oaring yang adil atau jujur, atau lebih. Dan dapat pula ditentukan masuk bulan ramadhan dengan persaksian seorang saksi saja, karena tealh diriwayatkan dalam hadits shahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:

فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُمُوْمُوْا وَ أَفْطِرُوْا

“Jika ada dua saksi yang telah menyaksikan (bulan ramadhan) maka berpuasalah dan berbukalah”

Dan telah diriwayatkan pula dalam hadits shahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau pernah menyuruh para sahabat untuk berpuasa dengan persaksian Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya.

Dan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah juga menyuruh berpuasa denga persaksian seorang Arab Badui saja tanpa meminta yang lain lagi.

Hikmah dari persaksian ini, wallahu a’alam (hanya Allah yang Maha Mengetahui) adalah sikap untuk berhati-hati dalam melaksanakan agama, terutama pada masalah masuk dan selesainya bulan ramadhan, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama.

Orang yang melihat bulan sabit sendirian, untuk mengetahui kapan mulai atau selesai bualan ramadhan, lalu persaksiannya itu tidak diterima, maka dia diharuskan berpuasa dan berbuka bersama masyarakat lainnya, dan dia tidak dibolehkan untuk mengamalkan persaksiannya sendiri.

Menurut pendapat terkuat dari beberapa pendapat para ulama, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَ الفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَ الأَضْحَى يَومَ تُضَحُّونَ

“Puasa itu pada hari kalaian berpuasa, dan berhariraya idul fithri itu pada hari kalian berbuka, dan berhariraya idul adha itu pada hari kalaian menyembelih hewan kurban”

Dan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala jualah yang berkuasa untuk memberi taufiq.

 Syaikh Ibnu Baz, Fatawa ash-Shiyam: 4, Kitab Tuhfatul Ikhwan bi Ajwibatin Muhimmatin Tata’allaqu bi Arkanil Islam

(aldakwah.org/azamhamas)