Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Menahan Emosi

Para Saudara Seiman yang selalu dirahmati Allah SWT, kita sudah sangat mengetahui bahwa hidup ini tidak lepas dari masalah. Dan setiap orang dalam menghadapi masalahnya berbeda-beda. Ada yang dimudahkan oleh Allah untuk menyelesaikannya, ada juga yang justru sebaliknya,.ingin memecahkan masalah malah membuat masalah baru yang justru lebih sulit dan rumit.(baca QS.Al-Lail : 4-10). Bila ini yang terjadi, maka tidak jarang nalar dan akal sehat sulit dipakai,yang muncul malah nafsu dan emosi.

Menahan Emosi adalah wasiat dari Rasullullah SAW yang patut dilaksanakan, telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW,”Berilah wasiat kepadaku” ,Nabi bersabda,”Jangan emosi”,beliau mengulanginya beberapa kali dan bersabda,”Jangan emosi”(HR.Bukhari).

Emosi, kata Ja’far bin Muhammad, adalah pintu menuju semua kejelekan. Betapa banyak kejahatan bahkan kehancuran, baik pada pribadi dan masyarakat, berawal dari emosi yang tidak terkendali. Karena emosi, harta yang sudah lama dikumpulkan, bangunan yang sejak dulu dibangun musnah dalam sekejap. Orang yang tidak berdosa dan kemungkinan besar tidak mengetahui masalah harus menanggung beban penderitaan karena kehilangan orang-orang  yang disayanginya. Semua berawal dari  emosi yang tidak terkendali. Bahkan tidak mustahil, sebuah bangsa yang dilukiskan oleh seorang sastrawan Mesir dengan ungkapan,”Indonesia adalah sepotong surga Allah di bumi-Nya”, akan berubah menjadi kepingan-kepingan tanah neraka, kalau semua kita tidak mampu mengendalikan emosi.

Maka pantaslah kalau menahan emosi, merupakan puncak dari akhlak yang terpuji, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad Ishak bin Rahuwaih, dan Ibnu Mubarak. Allah swt memuji hamba-Nya yang mampu menahan emosinya, sebagaimana firman-Nya, ”Dan bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan yang keji, dan apabila mereka emosi, ia bisa memberi maaf, bagi mereka kenikmatan yang kekal di sisi Allah” (QS.Assyura: 37).

Karena itu, sangatlah wajar jika kemampuan menahan emosi dijadikan Allah sebagai salah satu indikator takwa. Allah berfirman, “Dan bersegeralah  kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa ; yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan emosinya, dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran 133-134).

Mengendalikan emosi membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan menundukkan nafsu, yang selalu menyuruh kepada kejelekan dan minta diperturutkan. Allah berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yusuf 53).

Butuh pengorbanan maksudnya, terkadang untuk menahan emosi, kita harus berkorban  perasaan dan memaafkan kesalahan orang lain. Karena itu Rasulullah memberikan predikat “orang kuat” bukan kepada mereka yang kebal, tidak mempan dibacok, atau jagoan secara fisik, tetapi orang kuat kata Rasulullah, adalah orang yang mampu menundukkan nafsunya, ketika sedang emosi (HR.Bukhari Muslim).

Untuk bisa menjadi orang kuat seperti yang dimaksud  Nabi di atas, ada beberapa jurus yang diajarkan  beliau:

Pertama, memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan, karena emosi dan kemarahan, sumbernya adalah dari nafsu yang telah dikuasai setan. Sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Nabi, dikisahkan ada dua orang yang berkelahi dengan muka merah, mereka saling menghujat, Rasulullah yang menyaksikan kejadian tersebut bersabda,”Saya mengajarkan satu do’a yang kalau dibaca, niscaya hilang emosinya, yaitu, “A’udzubillahi minasy syaithaanirrajiim” (Aku belindung kepada Allah dari kejahatan setan yang terkutuk), (HR.Bukhari Muslim).

Berlindung dari setan merupakan jurus  pertama untuk meredam emosi, baik dari kejahatan setan abstrak maupun setan konkrit. Setan abstrak (jin), yaitu setan yang masuk ke dalam diri seorang kemudian menyatu dengan nafsu dan akan  selalu menjerumuskan seseorang ke arah perbuatan yang memperturutkan emosinya. Begitu juga setan yang berbentuk (annas) manusia, yaitu seorang yang memprovokasi orang lain untuk melakukan tindak kejahatan. Setan dalam bentuk kedua ini tidak kalah peranannya  dalam membakar emosi seseorang. Berapa banyak orang-orang yang sebelumnya lugu, tidak tahu masalah, berubah menjadi beringas, merampas, menjarah , membakar, membunuh, karena terprovokasi oleh setan-setan annas ini. Berlindung dari mereka, membutuhkan ketegasan untuk tidak mendengarkan kata-katanya dan iming-imingnya, apalagi sampai mau ikut–ikutan terbakar emosi.

Kedua, mengubah keadaan atau posisi ketika sedang emosi. Seperti yang digambarkan Rasulullah saw dalam hadist riwayat dari Abu Dzar, beliau bersabda,“ Apabila seseorang di antara kamu sedang emosi dalam keadaan berdiri, maka hendaklah dia duduk, bila emosinya belum mereda maka hendaklah ia berbaring .”(HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Sebagian ulama mengatakan, agar mengubah posisi dari berdiri ke duduk kemudian berbaring adalah kiasan agar  seseorang  semampunya menjauhkan diri dari sesuatu yang bisa membangkitkan emosinya. Karena orang yang terlibat dalam sebuah masalah atau konflik  dengan  berdiri mempunyai peluang lebih besar untuk melampiaskan emosinya, dibandingkan dengan mereka yang duduk apalagi dalam posisi terbaring.

Ketiga, berusaha diam ketika sedang emosi, baik diam dari gerakan ataupun perkataan. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Rasulullah SAW bersabda, “ Apabila salah seorang kamu sedang emosi, hendaklah dia diam”, beliau mengulanginya tiga kali (HR. Bukhari).

Diam  adalah sikap yang paling baik untuk meredam atau menghindari emosi yang tidak terkendali. Terlebih lagi di saat kondisi yang semakin memanas seperti yang tengah terjadi akhir-akhir ini orang begitu cepat terpancing emosinya oleh  sebuah perkataan ataupun statemen dari seseorang.

Bahkan seringkali terjadi, karena sebuah pernyataan yang mungkin maksudnya benar, namun oleh orang lain dipahami salah,  mengakibatkan bentrokan yang tak jarang berakhir dengan perusakan dan pembunuhan.

Dibutuhkan kearifan semua pihak, terutama para pemimpin di negara yang sedang memanas ini untuk bisa memberikan pernyataan yang menyejukkan sebagai peredam emosi atau bersikap diam sama sekali. Dan inilah yang dinasehatkan oleh Rasulullah saw, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah beliau bersabda, “ Barangsiapa yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dan hari kemudian hendaklah berkata yang benar atau sebaiknya diam”.(HR. Bukhari Muslim).

Berkata yang jujur dan benar sangat dibutuhkan untuk menjaga kesalahpahaman yang akan menyulut emosi, dan bersikap diam lebih dibutuhkan lagi, terutama untuk membendung emosi yang semakin memanas. Di negara demokrasi seperti ini, siapapun boleh bicara dan memberikan komentar, lewat media apapun dan dengan cara apapun selama tidak melanggar konstitusi. Dalam agama juga seperti itu. Tapi ingat tidak ada sepatah katapun yang terucap oleh lisan kecuali terekam oleh Allah, untuk kemudian dimintakan pertanggung-jawabannya di akherat kelak. Allah berfirman,“Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaaf : 18).

Rasulullah saw juga mengingatkan, bahwa terkadang seorang mengucapkan suatu perkataan yang tidak diinginkan oleh Allah, sementara dia tidak memperdulikan perkataannya, padahal bisa menjerumuskannya ke dalam neraka. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Orang yang banyak bicara dan memberikan pernyataan-pernyataan tidak bisa dipastikan semuanya benar, bahkan sering melakukan kesalahan. Yang kesalahannya bisa membuat orang lain menjadi korban. Umar bin Khattab ra pernah berkata,“Barang siapa yang banyak omongannya akan banyak salahnya, dan siapa yang banyak salahnya maka banyaklah dosanya, dan siapa yang banyak dosanya maka neraka lebih dekat dengannya”. Tidaklah berlebihan kalau suatu hari sahabat Abu Bakar ra memegang lidahnya sambil berkata,“Inilah yang bisa menjerumuskan aku kepada kehancuran.”

Walaupun demikian bukan berarti emosi itu tidak diperbolehkan sama sekali. Emosi juga dibutuhkan, tetapi ada tempat dan waktunya. Khususnya ketika hak-hak Allah (syari’at agama) dilanggar, bukan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Nabi sendiri suatu hari ketika membuka pintu rumah Aisyah ra, beliau melihat ada tirai yang bergambar, muka beliau langsung merah dan sambil emosi  mengatakan, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang yang membuat gambar ini.” (HR.Bukhari Muslim).

Begitu juga ketika ada seorang, yang mengadukan kepada beliau, tentang seorang imam yang memanjangkan bacaannya dalam shalat. Beliau marah dan dengan nada keras beliau berkhotbah dan menyuruh imam untuk meringankan bacaannya ketika shalat. (HR. Muslim). Dan secara umum, setiap beliau melihat atau mendengar adanya larangan-larangan Allah yang dilanggar, beliau langsung emosi dan memerintahkan umatnya untuk tidak lagi mengulanginya. 

Walaupun begitu, tetap emosi harus bisa dikendalikan, agar tidak melakukan atau mengatakan sesuatu di luar  yang hak. Dan orang inilah yang dikatakan oleh Nabi, ”Barangsiapa yang bisa  menahan emosinya, padahal dia mampu melampiaskannya, Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di depan segenap manusia dan disuruh memilih bidadari mana yang dia kehendaki.” (HR.Abu Daud,Tirmizi dan Ahmad)

Akhirnya kita semua  berdo’a,”Ya Allah ! Kami  memohon kepada-Mu supaya bisa berkata yang benar dalam keadaan senang dan emosi.” (HR.Ahmad dan Nasai)

 

(Nurul Mukhlisin Asyraf)

Ketua Lajnah Dakwah Yayasan Nidaul Fitrah,Surabaya