Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Perbedaan Idul Adha dan Persatuan Umat

Oleh: Bahrul Ulum

Pelaksanaan Hari Raya Idhul Adha 1435 Hijriyah di Indoensia kali ini bakal terjadi perbedaan lagi. Satu pihak  melaksanakan hari Sabtu, sedang yang lainnya melaksanakan hari Ahad.

Yang shalat hari Sabtu berpatokan pada pelaksanaan wuquf di Arafah yang jatuh pada hari Jumat yang oleh Saudi dinilai  bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah.

Sedang yang mengambil hari Ahad berpatokan bahwa wuquf di Arafah bukan sebagai satu-satunya dasar yang bisa digunakan menentukan hari puasa Arafah atau Shalat Idul Adha.

Alasannya, selisih antara Saudi dengan Indonesia kurang lebih 4 jam. Bila puasa Arafah disandarkan pada kegiatan wuquf, yaitu hari Jumat  berarti orang yang melaksanakannya bertepatan dengan jamaah haji yang sedang istirahat dan belum melakukan wuquf. Namun jika puasa dilakukan pada hari Sabtu berarti, puasa tersebut dilakukan setelah jamaah haji selesai wuquf.

Dengan pertimbangan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa puasa Arafah dikaitkan dengan hari Arafahnya bukan dengan wuqufnya. Sebab berbeda dengan haji yang terkait dengan waktu dan tempat sekaligus, Puasa Arafah hanya terkait dengan waktu saja.

Ini didasarkan, pelaksanaan haji yang di dalamnya ada wuquf menjadi gugur jika tanah Haram tidak aman. Sedang puasa Arafah tetap disunnahkan, baik ada yang wuquf atau tidak.

Ini artinya pelaksanaan puasa Arafah tidak tergantung pada pelaksanaan wuquf di Arafah. Puasa Arafah disyariatkan berbarengan denga syariat puasa Ramadhan pada tahu 2 Hijriyah sebelum syariat haji. Bahkan Rasulullah telah melaksanakan puasa Arafah jauh sebelum ada orang yang wuquf di sana.

Dalam sebuah hadits disebutkan,”Adalah Rasulullah berpuasa hari ke-9 dzilhijjah, dan hari ke-10 Muharran dan 3 hari pada setiap bulan. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Baihaqi).

Hadits ini menunjukkan bahwa pelaksanaan puasa-puasa tersebut terikat dengan miqat zamani (hari ke-9 Dzulhijjah, hari ke-10 Muharram/’Asyuura dan 3 hari setiap bulan).

Mengalah Demi Persatuan Umat

Meski kaum Muslimin di negeri ini berbeda pendapat dalam penentuan Idul Adha, namun perbedaan tersebut masih dalam batas ijtihadiyah. Masalah ini sudah dimaklumi oleh para ulama.

Terjadinya pelaksanaan waktu puasa Arafah antara Saudi dengan negara lainnya karena perbedaan penentuan ru’yatul hilal pada awal Dzulhijjah.

Sebagian ulama berpatokan pada  ru’yatul hilal yang berlaku untuk semua negara, sedang yang lainnya berpendapat bahwa setiap negara memiliki penentuan rukyat hilal sendiri.

Berkaitan dengan hal ini ulama Saudi, Syaik bin Baz berpendapat bahwa perbedaan tersebut tidak memberikan dampak yang berarti. Karena yang menjadi kewajiban adalah melakukan ru’yatul hilal untuk menentukan awal bulan  puasa, berbuka (hari raya) dan berkurban ketika rukyat telah ditetapkan dengan ketetapan syar’i di negara manapun. Secara hukum juga tidak ada bedanya antara penentuan Ramadhan dan Idul Adha dalam syari’ah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 15/79).

Berdasar keterangan di atas, maka tidak masalah ketika di sebuah negara hari raya Idul Adha terjadi pada hari Sabtu  misalnya, dan di negara yang lain pada hari Ahad, disebabkan banyaknya rukyat yang didasari oleh ikhtilaf mathali’.

Yang demikian juga berlaku pada puasa Ramadhan, puasa Arafah, dan puasa Asyura’ karena semuanya berkaitan dengan ru’yatul hilal dan penentuan awal dan akhir bulan.

Berdasar keterangan ini Lajnah Daimah Saudi berpendapat bahwa sudah seharusnya seseorang yang hidup dalam sebuah negara mengikuti hasil ru’yatul hilal di negaranya demi menjaga persatuan. Hal ini dididasarkan pada hadits Rasulullah, “Puasa adalah hari kalian semua berpuasa, sedangkan berbuka (Idul Fitri) adalah hari kalian semua berbuka, dan Idul Adha adalah hari kalian semua berkurban.” (HR. Tirmizi, no. 797).

Sebagaian ulama menafsirkan hadits ini hendaknya puasa dan berkurban dilakukan bersama jamaah dan mayoritas masyarakat.

Jika ada diantara kelompok atau perorangan di negera tersebut yang berbeda dengan mayoritas, hendaknya melakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, dan tidak bersifat provokatif.

Dalam hal ini Syaikh Utsaimin mengatakan jika ada yang  mengikuti  ru’yatul hilal negara lain sedangkan negerinya mengamalkan ru’yanya tidak selayaknya ia memperlihatkan perbedaan, karena hal itu akan menimbulkan fitnah, kekacauan dan kontroversi. Memperlihatkan perbedaan, bukan termasuk yang diperintahkan dalam Islam.” (Majmu Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin, 19/44)

Hidayatullah.com