Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Celah korupsi pada penyelengaraan haji

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi, telah menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun 2012-2013, Kamis (22/5/2014)

KPK menduga Suryadharma Ali menggunakan dana haji untuk membayari pejabat Kementerian Agama dan keluarganya naik haji serta melakukan penggelembungan harga (mark up) katering, pemondokan, dan transportasi jemaah haji.

Aroma korupsi terkait penyelenggaraan haji sesungguhnya bukan hal yang baru. Pada 2010, KPK pernah melakukan kajian dan menemukan sejumlah titik rawan korupsi pengelolaan ibadah haji yang dikelola Kemenag. Komisi anti korupsi ini juga memberikan 48 rekomendasi yang harus dibenahi oleh Kemenag agar tidak terjadi lagi peluang korupsi dalam penyelenggaraan haji. Sayangnya tak semua rekomendasi tersebut dilaksanakan oleh Kemenag.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melansir adanya dugaan penyalahgunaan penggunaaan dana haji pada 2013. Dari setoran ongkos naik haji (ONH) Rp 80 triliun, bunga bank sebanyak Rp 2,3 triliun diduga diselewengkan. PPATK juga menemukan dugaan transaksi mencurigakan di Kemenag senilai Rp 230 miliar yang tidak jelas penggunaannya.

Bahkan, sejak 2004, Indonesia Corruption Watch, sebagaimana dikutip dari lamannya, sudah mengungkapkan setidaknya ada empat celah potensi korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Pertama, pengelolaan dana setoran awal calon haji, baik yang reguler maupun khusus (ONH plus). Untuk dapat nomor antrean keberangkatan, calon haji harus membayar biaya haji yang telah ditentukan pemerintah. Jumlah setoran ongkos haji yang mencapai Rp 9 triliun per tahun dan bunga bank yang diperoleh berpotensi disalahgunakan.

Penentuan besaran ongkos biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) selama ini ditentukan bersama oleh Kemenag dan DPR. Mekanisme yang tidak transparan dan akuntabel itu menyebabkan terjadinya kongkalikong dan potensi suap-menyuap dalam menentukan biaya haji yang cenderung naik setiap tahun.

Kedua, pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan haji. Pengadaan yang berpotensi terjadinya kolusi dan korupsi adalah pengadaan transportasi darat dan udara di Arab Saudi, katering, pemondokan, hingga asuransi untuk jemaah haji. Proses pengadaan yang tertutup cenderung membuat mereka yang dekat dengan pejabat di Kemenag dan DPR yang akan menjadi pemenang. Karena proses pengadaan yang sarat kolusi dan korupsi, pada akhirnya berdampak terhadap pelayanan haji kepada para jamaah menjadi kurang memuaskan.

Ketiga, penggunaan dana abadi umat (DAU) yang berasal dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji. Sudah rahasia umum, DAU jadi dana taktis atau nonbudgeter di Kemenag yang sering digunakan untuk kepentingan atau kegiatan yang bersifat pribadi. Kriteria penggunaan dan mekanisme pertanggungjawabannya yang tidak jelas membuka peluang terjadinya penyalahgunaan. Tahun 2005-2006, hasil penghitungan ICW menyebutkan potensi DAU yang berpotensi korupsi mencapai 10 juta dollar AS.

Keempat, selain tiga celah tersebut, penyalahgunaan lain yang juga muncul, antara lain, penggunaan dana haji untuk memfasilitasi kolega ataupun kerabat pejabat di lingkungan kementerian untuk menunaikan ibadah haji dan pemberian gratifikasi kepada anggota DPR yang melakukan pengawasan pelaksanaan haji di Arab Saudi.

Langkah KPK dalam mengusut kasus korupsi penyelenggaraan haji layak diapresiasi dan seharusnya dijadikan momentum dalam upaya membersihkan Kemenag dari korupsi. Upaya ini dapat dilakukan dengan aspek penindakan dan sekaligus pencegahan.

Kaum Muslimin Indonesia yang hendak menunaikan ibadah haji melalui proses yang panjang dan menahun. Jamaah calon haji tidak sedikit dari kalangan menengah bawah, ada seorang tukang tambal ban, seorang pedagang kerupuk melarat, tukang becak dan lain lain. Mereka mengumpulkan uang hasil jerih payahnya bekerja sedikit demi sedikit dan berlangsung lama, hingga ada yang mencapai 30 tahun, untuk naik haji,kata mereka. Pertanyaannya di mana nurani para pejabat korup, saat mereka “merampok” uang jamaah itu?

(azm/arrahmah.com)