Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Antara Australia dan Seulawah

Oleh: Akbar Muzakki

Pernyataan Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott yang baru-baru ini menyinggung bantuan sebesar A$ 1 miliar untuk korban musibah tsunami Aceh 2004 silam, menuai protes dan kecaman.

Dalam sepekan ini, rakyat Aceh bahkan menantang Perdana Menteri Tony Abbot yang dinilai menyinggung perasaan warga Aceh.

Seperti diketahui, dana bantuan bencana tsunami Aceh diungkit-ungkit pemerintah Aceh terkait terpidana mati kasus penyelundupan narkotika asal Australia Andrew Chan (kanan) dan Myuran Sukumaran yang juga dikenal anggota mafia ‘Bali Nine’.

Buat warga Aceh sikap pemerintah Australia ini menyangkut masalah harga diri dan kewibawaan di hadapan Allah dan umat manusia. [Baca: PM Australia Desak Batalkan Hukuman Mati, Ungkit-ungkit Bantuan tsunami]

Baginya warga Aceh tak mau direndahdirikan hanya soal bantuan dana dari Australia. Berapa dana bantuan tsunami itu akan dikembalikan dengan ikhlas mesti harus mengumpulkan koin.

Andai itu  benar terjadi dan dilakukan rakyat Aceh, hal ini bukan lah sebuah peristiwa istimewa.

Jika kita kembali memutas roda sejarah bangsa, kasus ini pernah terjadi pada Aceh saat perjuangannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pengumpulan koin untuk dana bantuan bencana tsunami mengingatkan sejarah masa lalu rakyat Aceh saat mengumpulkan cincin emas, kalung dan sebagainya hingga mencapai 20 kg.

Dana tersebut dihimpun dari masyarakat Aceh oleh Panitia Dana Dakota (Dakota Found) di Aceh yang dipimpin HM Djoened Joesof dan said Muhammad Alhabsyi.

Presiden Soekarno kala itu (tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaraja) berhasil membangkitkan patrotisme rakyat Aceh untuk membeli sebuah Pesawat yang diberi nama ‘Dakota R-001 Seulawah’. Selawah berati “ Gunung Emas”. Pesawat Seulawah yang dikenal RI-1 dan RI-2 merupakan bukti nyata dukungan yang diberikan masyarakat Aceh dalam proses perjalanan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, Pesawat Seulawah yang menjadi cikal bakal Maskapai Garuda Indonesia Airways disumbangkan melalui pengumpulan harta pribadi masyarakat dan saudagar Aceh sehingga Presiden Soekarno menyebut “Daerah Aceh adalah Daerah Modal bagi Republik Indonesia, dan melalui perjuangan rakyat aceh seluruh Wilayah Republik Indonesia dapat direbut kembali”.

Bermula dari sebuah jamuan makan malam, saat kunjungannya ke Aceh yang diselenggarakan oleh Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida), kala itu Soekarno angkat bicara. “Saya tidak akan makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul.”

Peserta pertemuan yang terdiri atas saudagar dan tokoh masyarakat Aceh saling melirik. Lalu, salah seorang dari mereka bangun. Seorang pria muda berusia sekitar 30 tahun. Dia seorang saudagar. Namanya M Djoened Joesof. “Saya bersedia,” demikian sahut Djoened Joesof yang juga menjabat ketua Gasida. Selanjutnya menyusul kesediaan saudagar lainnya.

Alhasil malam itu terkumpul dana yang cukup besar. Presiden Soekarno puas dengan menyungginggkan senyum. Ia lalu mengajak hadirin beranjak ke meja makan.

Adegan jamuan makan malam itu merupakan bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang. Penulis Sejarah, Tgk AK Jakobi mencatatkan peristiwa itu dalam bukunya “Aceh Daerah Modal” (Yayasan Seulawah RI-001, 1992)

Dalam pidatonya di sebuah rapat akbar di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, keesokan harinya, 17 Juni 1948, Soekarno menyatakan hal sama.

”Kedatangan saya ke Aceh ini khusus untuk bertemu dengan rakyat Aceh, dan saya mengharapkan partisipasi yang sangat besar dari rakyat Aceh untuk menyelamatkan Republik Indonesia ini,” begitu katanya memohon kesediaan rakyat Aceh untuk terus membantu Indonesia.

Di Blang Padang itu pula ia kemudian berujar tentang kontribusi Aceh sebagai daerah modal terhadap berdirinya Indonesia.

“Daerah Aceh adalah daerah modal bagi Republik Indonesia, dan melalui perjuangan rakyat Aceh, seluruh wilayah Republik Indonesia dapat direbut kembali,” ungkap Soekarno bersemangat.

Dalam waktu dua hari terkumpul dana sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida, Muhammad Joened Yoesoef, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana tersebut dan emas seberat dua kilogram.

Sudah banyak jasa Dakota RI-001 terhadap bangsa ini.

Kehadiran Dakota RI-001 Seulawah mendorong dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatera, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.

Di Kutaraja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.

Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala.

Selesai mendapat perawatan di Calcutta,India, seulawah diterbangkan menuju Ranggon, Burma, pada 26 Januari 1949 dan langsung mendapat tugas penerbangan sebagai pesawat carteran dan terlibat dalam berbagai misi operasi militer di negara tersebut. Kegiatan usaha carter pesawat tersebut dilembagakan dan menjadi satu perusahaan penerbangan yang diberi nama Indonesian Airways. Inilah perusahaan penerbangan pertama milik Indonesia yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi Garuda Indonesia Airways.

Narkoba dan hukuman mati

Bagaimanapun, pernyataan PM Australia yang mengungkit-ungkit dana bantuan tsunami sangat menyayatkan dan melecehkan pemerintah Indonesia soal perkara hukuman mati 2 warganya.

Pertama bahwa narkoba telah merusak mental dan fisik rakyat Indonesia. Menurut Badan Nasional Narkotika (BNN) yang selama ini jadi salah satu tulang punggung dalam memerangi peredaran narkoba di Indonesia, melansir data yang makin membuat kita khawatir. Badan narkotika itu memperkirakan pengguna narkoba pada tahun 2015 ini akan meningkat tajam. Diperkirakan pengguna narkoba di 2015 akan mencapai 5,1 juta orang.

Pada 2014 sendiri, BNN mencatat pengguna narkoba di Indonesiaa sebanyak 4,7 juta orang. Jika melihat perkiraan BNN, wajar bila Jokowi menganggap Indonesia sudah darurat narkoba. Karena laju korban akibat narkoba, terus melonjak tajam tiap tahunnya.

Kedua, masalah hukuman mati dan dana bantuan tsunami Aceh tidak bisa disinkronisasikan. Sebab bantuan kemanusiaan tidak bisa kemudian mengalihkan pada ‘keringanan’ hukuman mati buat mafia narkoba ‘Bali Nine’.

Jelas sangat berbeda jauh dari norma kemanusiaan. Bantuan tsunami juga menyangkut hak hidup orang banyak yang terkait dengan hak azasi manusia. Sedangkan hukuman narkoba jauh dari persoalan HAM. Karena pelakunya jelas merusak hak hidup hajat orang banyak dan pastilah melanggar HAM.*

Penulis adalah wartawan

Hidayatullah.com