Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Adab Seorang Muslim Terhadap Hujan

Merupakan tanda kekuasaan Allah ta’ala, kesendirian-Nya dalam menguasai dan mengatur alam semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah yang tandus yang tidak tumbuh tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah tanaman yang indah untuk dipandang. Allah ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam firman-Nya:

“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41]: 39)

Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk menghidupkan tanah yang mati. Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah yang kering dan jarang sekali dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun, datanglah keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan pohon jati kembali hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu kenikmatan yang amat besar.
Sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang telah diberikan ini, sebaiknya kita mengilmui beberapa hal seputar musim hujan.

Turunnya Hujan, Salah Satu Waktu Terkabulnya Do’a

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, 4/342 mengatakan, “Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْث

“Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan: [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.” (Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat hadits no. 1026 pada Shohihul Jami’)

Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثِنْتَانِ لا تُرَدَّانِ، أَوْ قَالَ: مَا تُرَدَّانِ، الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ، وَعِنْدَ الْبَأْسِ، حِينَ يَلْتَحِمَ بَعْضُهُ بَعْضًا وَفِي رِوَايَة : ” وَتَحْتَ المَطَر ”

“Dua orang yang tidak ditolak do’anya adalah: [1] ketika adzan dan [2] ketika rapatnya barisan pada saat perang.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan ketika hujan turun.” (HR. Abu Daud dan Ad Darimi, namun Ad Darimi tidak menyebut, “Dan ketika hujan turun.” Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih)

Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan

Apabila Allah memberi nikmat dengan diturunkannya hujan, dianjurkan bagi seorang muslim untuk membaca do’a,

اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat.”

Itulah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat hujan turun. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihat hujan turun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ‘Allahumma shoyyiban nafi’an’. (HR. Bukhari, Ahmad, dan An Nasai). Yang dimaksud shoyyiban adalah hujan. (Lihat Al Jami’ Liahkamish Sholah, 3/113, Maktabah Syamilah dan Zaadul Ma’ad, I/439, Maktabah Syamilah)

Tatkala Terjadi Hujan Lebat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian tatkala hujan turun begitu lebatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR. Bukhari no. 1013 dan 1014). Oleh karena itu, saat turun hujan lebat sehingga ditakutkan membahayakan manusia, dianjurkan untuk membaca do’a di atas. (Lihat Al Jami’ Liahkamish Sholah, 3/114, Maktabah Syamilah)

Mengambil Berkah dari Air Hujan

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kehujanan. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, ‘Ya Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena dia baru saja Allah ciptakan.” (HR. Muslim no. 2120)

An Nawawi dalam Syarh Muslim, 6/195, makna hadits ini adalah bahwasanya hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah ta’ala, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut. Kemudian An Nawawi mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih mulia melakukan sesuatu yang dia tidak ketahui, hendaknya dia menanyakan untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.” (Lihat Syarh Nawawi ‘ala Muslim, 6/195, Maktabah Syamilah)

Dianjurkan Berwudhu dari Air Hujan

Dianjurkan untuk berwudhu dari air hujan apabila airnya mengalir deras (Lihat Al Mughni, 4/343, Maktabah Syamilah). Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

اُخْرُجُوا بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ

“Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.” (Lihat Zaadul Ma’ad, I/439, Maktabah Syamilah)

Namun, hadits di atas munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi (Lihat Irwa’ul Gholil). Hadits yang serupa adalah,

كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ ”

“Apabila air mengalir di lembah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,’Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci’, kemudian kami bersuci dengannya.” (HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil)

Do’a Setelah Turunnya Hujan

Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, “Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »

“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Muslim no. 240)
Dari hadits ini terdapat dalil untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ setelah turun hujan sebagai tanda syukur atas nikmat hujan yang diberikan.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam, jika meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab, maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.” (Kutub wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin, 170/20, Maktabah Syamilah)

Janganlah Mencela Hujan

Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan kenikmatan dari Allah ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan dari seorang muslim seperti ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’. Sungguh, kata-kata seperti ini tidak ada manfaatnya sama sekali, dan tentu saja akan masuk dalam catatan amal yang jelek karena Allah berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50]: 18)

Bahkan kata-kata seperti ini bisa termasuk kesyirikan sebagaimana seseorang mencela makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa seperti masa (waktu). Hal ini dapat dilihat pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.’ “ (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)
Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak dapat berbuat apa-apa, termasuk juga hujan adalah terlarang. Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, ‘Hari ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat’-, tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa. (Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid, 227-231)

Perhatikanlah hal ini! Semoga Allah selalu menjaga kita, agar lisan ini banyak bersyukur kepada-Nya atas karunia hujan ini, dan semoga Allah melindungi kita dari banyak mencela.

Mengenai Guntur/Petir Dan Kilat

Ar Ra’du (petir) adalah suara yang didengar dari awan. Sedangkan Ash Showa’iq (kilat) adalah api (cahaya) yang muncul dari langit bersamaan dengan suara petir yang keras. (Rosysyul Barod, 381, Darud Da’i Linnashri wat Tawzii’)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dalam hadits marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) pada riwayat At Tirmidzi dan selainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang petir, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ مَعَهُ مخاريق مِنْ نَارٍ يَسُوقُ بِهَا السَّحَابَ حَيْثُ شَاءَ اللَّهُ

“Petir adalah malaikat yang diberi tugas mengurus awan dan bersamanya pengoyak dari api yang memindahkan awan sesuai dengan kehendak Allah.”

Begitu juga ketika Ali ditanya, sebagaimana dikatakan Al Khoroithi dalam Makarimil Akhlaq. Beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Petir adalah malaikat, dan suaranya itu adalah pengoyak di tangannya.” Dan dalam riwayat lain dari Ali juga, “Suaranya itu adalah pengoyak dari besi di tangannya.”

Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan lagi, “Ar ro’du adalah mashdar (kata kerja yang dibendakan) berasal dari kata ro’ada, yar’udu, ro’dan (yang berarti gemuruh, pen). … Namanya gerakan pasti menimbulkan suara. Malaikat adalah yang menggerakkan (menggetarkan) awan, lalu memindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan setiap gerakan di alam ini baik yang di atas (langit, pen) maupun di bawah (bumi, pen) adalah dari malaikat. Suara manusia dihasilkan dari gerakan bibir, lisan, gigi, lidah, dan dan tenggorokan. Dari situ, manusia bisa bertasbih kepada Rabbnya, bisa mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Oleh karena itu, guntur adalah suara yang membentak awan. Dan kilat adalah kilauan air atau kilauan cahaya… “ (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 24/263-264)

Ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 19, As Suyuthi mengatakan bahwa petir (Ar Ra’du) adalah malaikat yang ditugasi mengatur awan. Ada juga yang berpendapat bahwa petir adalah suara malaikat. Sedangkan kilat (barq) adalah kilatan cahaya dari cambuk malaikat tersebut untuk menggiring mendung (Tafsir Jalalain dengan Hasyiyah ash Showi 1/31, ed).

Do’a Ketika Mendengar Petir

Dari ‘Ikrimah mengatakan bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tatkala mendengar suara petir, beliau mengucapkan,

سُبْحَانَ الَّذِي سَبَّحَتْ لَهُ

‘Subhanalladzi sabbahat lahu’ (Maha suci Allah yang petir bertasbih kepada-Nya). Lalu beliau mengatakan, “Sesungguhnya petir adalah malaikat yang meneriaki (membentak) untuk mengatur hujan sebagaimana pengembala ternak membentak hewannya.” (Lihat Adabul Mufrod no. 722, dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Apabila Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan,

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

‘Subhanalladzi yusabbihur ro’du bihamdihi wal malaikatu min khiifatih’ (Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya). Kemudian beliau mengatakan,

إِنَّ هَذَا لَوَعِيْدٌ شَدِيْدٌ لِأَهْلِ الأَرْضِ

“Inilah ancaman yang sangat keras untuk penduduk suatu negeri.” (Lihat Adabul Mufrod no. 723, dishohihkan oleh Syaikh Al Albani)

[Muhammad Abduh Tuasikal, sumber: www.muslim.or.id/Muslimdaily.net]