Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Pernikahan Beda Agama Melanggar Konstitusi

JAKARTA -  Pengajuan Uji Materil (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU  No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat. Apabila dikaji berdasarkan sejarah pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya hukum dibentuk berdasarkan pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) di samping kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).

Indonesia yang notabene sangat heterogen dan multikultural dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara lain yang cenderung lebih homogen. Tentu ada penggalian yang mendalam berdasarkan aspek historis dan filosofis oleh para pendiri bangsa ini agar terwujud keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia. Pun demikian halnya dengan pembentukan undang-undang perkawinan yang beberapa pasalnya saat ini mengalami uji materil, yakni Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.

Ryan Muthiara Wasti, Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Jakarta mengatakan, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini merupakan wujud kompromi sekaligus penghormatan terhadap nilai-nilai agama-agama yang diakui di Indonesia. Negara dalam pasal ini berlaku arif dengan tidak melakukan intervensi dan menyerahkannya pada hukum agama masing-masing individu yang bersangkutan. Maka, tidak dapat dikatakan bahwa UU Perkawinan hanya mengakomodir kepentingan masyarakat mayoritas yaitu umat Islam, tetapi sudah melihat secara keseluruhan dari agama dan keyakinan yang ada di Indonesia pada masa itu.

Di samping itu Ryan yang juga Staf Pengajar di salah satu Fakultas Hukum ini menegaskan keberadaan agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa karena merupakan sebuah keniscayaan dari berdirinya sebuah negara yang berlandaskan pada sebuah ideologi yaitu Pancasila dimana Sila pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya pada pendiri negara meyakini bahwa Indonesia tidak akan terlepas dari sebuah pemahaman dasar atas religiusitas.

Oleh karena itu, legalisasi nikah beda agama adalah suatu hal yang tidak sesuai dan bertentangan dengan nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat Indonesia. Legalisasi Pernikahan beda Agama adalah sesat pikir yang dapat mengaburkan makna dari pada nilai-nilai yang termaktub di dalam Pancasila sebagai Dasar Negara tegas Ryan.

(NN/PAHAM/sbb/dakwatuna)